it's me..

Selasa, 28 September 2010

Masih Tentang Engkau




Masih tentang Engkau

Tentang engkau,
Ketika sunyi merengkuh matamu, lantas menatapku beku.
Dan di hatimu aku berlari-lari di selasaran senja                      
“Ada yang tak bisa ku tangkap”, ujarmu.
Aku malu

Masih tentang engkau,
Aku tak tahu jika ekor matamu mencari-cari lengkung senyumku
Yang tertimbun di tumpukan pilu

Dan pagi itu, suara kita beradu,
Tatapan kita bertemu, hingga bersemu wajahmu.
Lalu dahimu seolah-olah mengadu
Tentang  jendela yang merindukan lengkung pelangi

                                                                                    Serambi KOMPAK,  Desember 2009
Add caption
                                                                                               

Sabtu, 11 September 2010

Untuk Lelakiku


Untuk Lelakiku

Telah kutemui engkau dalam mimpi kala lelapmu merdu wahai lelakiku,
ketika aku berlari dan menemuimu di persimpangan -tempat biasa kau menungguku, tempat biasa aku melepas lelah- katamu
Tapi kau tak tahu, sebab aku tak tega membangunkanmu yang lelap dalam lelahnya menunggu
Maka hanya dalam mimpi aku menyapamu

Aku takut kau tak lagi sudi menunggu
Aku takut suatu saat aku berhenti berlari , tak lagi kutemukan wajahmu di persimpangan itu…

Medan, 21 Agustus 2010
 
Kusapa Engkau Lewat Doa

                                     Oleh: Wahyu Wiji Astuti



Bila kau dengar desau angin diantara rimbun daun subuh
Ketika itu belaian embun rintik di tiap lembarnya, melewati tulang-tulang daun di kedua sisi yang basah
Serupa engkau yang kerap melintas di angan, mendekap dengan daun rindumu yang rambat

Kuceritakan saja tentang kesetiaan embun
Yang saban pagi tak alpa menembang lewat lembut dingin kabut
Seperti aku yang menyapamu lewat doa, yang Tuhan mendengarnya meski engkau tidak
Biarlah…
                                    Kepada Ali
                                    Serambi KOMPAK, April 2010


Menjawab Mimpi
                                             
Tadi aku mencoba membaca gurat-gurat wajahmu
Lewat mimpi yang katamu saban malam kau ramu
Meski riak air kadang memecah hening yang begitu bungkam

Sempat kutangkap asa yang berdenyut pada penantian
di antara bangku-bangku tunggu depan perapian
yang sewaktu-waktu bisa saja membakar ujung selimut malam,
menyulut api di penjuru kabin yang hampir pula tenggelam

Harapku, jika suatu ketika sadarmu, pada waktu yang tak berhenti berputar itu telah kau habiskan untuk mengulum rindu dalam kasip penantian
Dan jika kau tak mampu hentikan putaran, maka hentikan saja kisah di bangku tunggu yang temaram
Julurkanlah sebait asa ke dalam bara dengan tongkat, karena katanya itu bisa menguapkan rasa yang terlanjur pekat

Lalu jangan tanyakan lagi pada malam yang tak berupa,
“Kali ini harusnya mimpi apa?” sekalipun ribuan godam menohok dinding hatimu yang membiru
Kali saja, dengan itu kau tahu, ada sesak yang menyesak, di sini,
tentang lara yang belum sirna dengan kata-kata,
tentang ragu yang menjelma peluru,
entah sampai kapan…

                                                                        Serambi KOMPAK, Juni 2010
                                                                        Kepada Peramu Mimpi

Sembilu Sayap Rindumu
 
Kau kibaskan sepasang sayap rindu
Kepakanmu menggetarkan pilar-pilar keangkuhan yang lama tak dialiri aroma mesiu
Kau jemput sepi yang lama membenalu,
“Kemari, aku hangatkan pilumu di bawah sayapku,”
Dan aku terpasung dalam sayap rindu yang berbulu sembilu…

                                                Serambi KOMPAK, Juni 2010

Balada Hawa di Taman Firdaus


Balada Hawa di Taman Firdaus
                                                Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Hadirmu serupa dewa,
Kau sibak mendung yang menutup cerah bulan hampir purnama
Rindumu serupa dewa,
Memanah durja, menghempas bencana yang harusnya lantakkan buana

Lonceng yang kau bunyikan di depan taman firdaus,
Mengisahkan tanya yang tak sempat luruh
Hingga bekasnya mengilhami sejarah

Aku ingin menjadi hawa yang mengusap peluhmu di menara
Tanpa harus menelan simalakama
Laun, mungkin saja aku sadar di taman itu harusnya kita tinggal
Dan sebab itukah kau padamkan tungku, hingga aku kedinginan?

                                                Serambi KOMPAK, Juni 2010